30 December 2010

Hantu Kecil Tukang Ngemil

Karena punya sakit maag, saya suka ngemil. Apalagi saat hamil dan menyusui, di mana rasa lapar bisa menyerang setiap saat. Saya selalu sedia biskuit, keripik, wafer… semuanya ada. Kalau jalan-jalan pun saya sering berhenti untuk beli es krim atau roti untuk mengisi perut. Ternyata kebiasaan makan dimana-mana ini diperhatikan oleh putra saya, Andrew (4thn).
“Mama kok makan terus sih?”
"Soalnya kalau tidak makan nanti perut Mama sakit.”
Andrew termasuk anak yang agak sulit makan. Kalau sedang banyak ya banyak, kalau sedikit, sehari bisa hanya makan sekali. Sudah begitu, tidak semuanya dia mau makan. Kalau sudah begitu saya jadi pusing. Untung saja anak saya tidak kurus atau sakit-sakitan. Kemudian saya temukan jawabannya kenapa.
Akhir-akhir ini, saya sering kehilangan wafer kesukaan saya. Saya pikir, ah saya yang lupa sudah saya makan atau saya bawa untuk ngemil di kantor. Puncaknya waktu Sabtu dua minggu lalu (awal Desember) waktu Papa saya kehilangan keripik singkong temannya nonton TV. Wah, sampai satu rumah heboh mencari. Masalahnya keripik itu baru dibeli dan dibuka. Masa iya, keripik singkok satu kantong besar bisa lenyap begitu saja? Lalu dengan wajah tanpa dosa, Andrew lewat membawa kantong keripik singkong tersebut.
“Itu keripik Opa ya?” Tanya Papa.
“Iya, Opa.”
“Kok tinggal sedikit?”
“Dimakan hantu, Opa.” Jawabnya sambil nyengir.
Papa saya yang sudah siap marah jadi tidak tega. Ternyata kudapan kami di rumah sering dicuri hantu kecil yang juga seorang tukang ngemil. Sekarang ngemil jadi kegiatan favoritnya. Waktu mewarnai dia ngemil, waktu nonton TV dia ngemil. Sampai bikin PR pun sambil ngemil. Yang dimakan ya apa lagi kalau bukan keripik singkong si opa dan wafer coklat saya. Ya ampunnnn…



29 December 2010

Pelajaran Berharga Tentang Bumi Kita

Semua ini bermula dari semua pertanyaan:

"Ma, global warming itu apa sih?"
Tanya anak saya, Andrew, yang masih berusia 4 tahun setelah nonton film Ice Age. Entah dari mana dia dengar konsep itu, yang jelas, saya bingung menjelaskannya. Akhirnya jawaban saya simpel, "global warming itu kalau buminya rusak karena kepanasan."


Dia sih puas dengan jawaban itu, saya yang jadi tidak puas. Masa sih hanya itu yang bisa saya ajarkan kepada anak saya tentang global warming? Saya terus mencari, apa lagi ya yang bisa saya 'wariskan' pada anak saya ini, yang notabene generasi masa datang? Tinggal di apartment di tengah ibukota membuat semuanya jadi lebih sulit. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya macet, gedung-gedung yang tinggi menjulang dan langit yang kerap menghitam karena polusi. Kemarin, kesempatan tersebut datang bersama dengan pulangnya kedua adik saya dari kuliah di luar negeri. Kami sekeluarga pergi mengunjungi pulau Belitung.

Pelajaran #1: Deforestasi vs Reboisasi

Sebelum mendarat pun, Andrew sudah semangat melihat ke
jendela. "Laut, Ma, laut!" "Pulau, Ma, pulau!" teriaknya memberikan laporan pandangan mata tentang apa yang ada di bawah sana. Mendekati Belitung, Andrew semakin semangat. "Ma, ada hutan! Gede banget! Pasti banyak monyetnya ya!"
Maklum saja, itu pertama kalinya anak saya melihat hutan. Lalu, dahinya berkerut, berpikir, "Ma, kenapa di Jakarta ngga ada hutan ya? Pantesan di Jakarta ngga ada monyet." Yah, memang. Banyaknya hutan yang ditebang dan dialihfungsikan untuk tempat tinggal tanpa sadar bisa membahayakan manusia itu sendiri.

Saya jadi ingat satu buku yang sering saya bacakan sebelum Andrew tidur berjudul "Knuffel Bear" yang mengisahkan tentang beruang yang suka memeluk binatang hutan dan pepohonan. Saat seorang penebang liar hendak merusak hutan, beruang tersebut mengaum dan mengakut-nakuti si penebang tanpa hasil. Akhirnya dia memeluk si penebang dan berhasil membuatnya lari ketakutan. Intinya, si beruang menyelamatkan hutan dengan pelukannya. (Hm... ternyata tanpa sadar saya sudah sering bercerita tentang hutan kepada Andrew.) Dari situ saya bercerita pada Andrew kenapa hutan tidak boleh ditebang sembarangan walaupun kita (manusia) membutuhkan kayunya. Sekarang dia tahu kalau penebangan hutan sembarangan tanpa adanya penghijauan kembali bisa menimbulkan tanah longsor dan, tentu saja, global warming.

Pelajaran #2: Ikan dan Sampah

Hari ke-2 di Belitung, kami pergi snorkling. Andrew yang suka petualangan ikut serta. Karena belum berani menyelam dia melihat ikan-ikan dari kotak kaca yang dibawa adik saya. Kotak tersebut di pegang untuk memecah permukaan air laut sehingga Andrew bisa melihat ikan berenang diantara terumbu karang dan rumput laut. Sayangnya di tengah indahnya pemandangan, ada sebuah botol plastik yang terbawa ombak lewat di tengah-tengah kami. "Ma, ada sampah. Tempat sampahnya di mana ya?" Tanya Andrew spontan. Lah, di tengah laut mana ada tempat sampah?

Memang, saya selalu mengajarkan pada Andrew untuk membuang sampah pada tempatnya. Dia bahkan pernah memarahi seorang ibu yang membuang sampah di rumput. Saya jadi sedih kalau ingat laut-laut Indonesia yang indah seringkali sudah dicemari sampah. Pantai-pantai yang sudah komersil apalagi. Tidak ada bedanya sama jalanan di kota besar. Yang lebih parah, gara-gara menemani anak saya nonton film animasi kura-kura, saya jadi melihat sendiri bagaimana perjuangan seekor kura-kura membebaskan dirinya dari jeratan kantong plastik yang dibuang sembarangan oleh manusia. Atau bagaimana seekor gurita harus sembunyi dari minyak tumpah yang mengotori tempat tinggalnya. Miris banget jadinya. Moga-moga, laut yang indah ini masih bisa Andrew tunjukkan ke anak cucunya kelak.


Pelajaran #3: Panas vs Hujan

"Kenapa sih aku harus pake sunscreen terus, Ma?" Tanya Andrew saat untuk kesekian kalinya saya membuka tube tabir surya itu dan mengoleskannya ke badan dan mukanya sebelum kita keluar hotel.
"Soalnya panas. Nanti kulit kamu terbakar." Jawab saya.
"Gara-gara global warming ya?"

Iya. Gara-gara global warming, bukan hanya bumi saja yang rusak, tapi kita juga jadi kepanasan. Kulit bisa terbakar kalau tidak pakai tabir surya. Bisa dehidrasi kalau tidak sering minum. Semua hanya karena bumi ini jadi panas banget. Kayaknya, waktu saya kecil dulu, saya masih bisa keliling kompleks rumah naik sepeda tanpa topi, tanpa repot pakai sunscreen... sekarang, anak saya main sepeda di dalam rumah. Kalau mau keluar, harus pagi, sebelum pukul 9 atau sesudah pukul 5. Di luar itu, panasnya tak tertahankan. Demikian juga dengan Belitung. Angin pantai yang semilir tidak sanggup mengalahkan teriknya matahari.

Antara panas sekali begitu atau hujan tiada henti. Saya sekarang bingung kalau ditanya, "kita sedang musim apa, Ma?" Soalnya musimnya sudah tidak jelas lagi. Seharusnya sudah masuk musim panas pun, hujan masih datang tiada henti.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Saya selalu mengajarkan kepada Andrew untuk mulai dari hal kecil. Soal sampah misalnya. Selama di Belitung, saya kerap mengingatkan dia untuk tidak buang sampah sembarangan. Terutama jika kita berada dekat pantai. Soalnya agak susah bagi Andrew mengenali mana sampah yang dibuang manusia (botol kosong, plastik, kaleng soda, dll) dan mana 'sampah' yang datang dari laut (rumput laut, pecahan kerang, dll). Habis makan kelapa pun, semuanya harus kita bereskan kembali. Atau saat pergi ke tempat yang tidak seberapa jauh, kita sering jalan kaki berdua. Bisa juga dengan mendaur ulang karton bekas sereal dan botol bekas jus menjadi mainan. Kalau dipikir-pikir, banyak juga yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk bumi kita ini.

3 hari di sebuah pulau kecil yang tidak jauh dari Jakarta sudah memberikan banyak pelajaran untuk Andrew dan untuk saya. Yang jelas, saya tidak boleh berhenti mengajarkan konsep peduli lingkungan pada anak saya. Terutama karena kami tinggal di kota besar yang dengan mudah bisa lupa dengan yang namanya hutan, pantai, gunung dan semua alamnya.

"Bye bye pulau. Kapan-kapan Andrew main lagi ya sama ikannya!"





23 December 2010

Kenapa Ya?

Buat saya, yang paling susah bagi seorang ibu adalah menjawab “kenapa?”

Kalau logis sih bisa langsung dijawab. Kalau soal kapan Batman tidur karena siang harus kerja, malam memburu penjahat, saya juga bingung jawabnya. Akhirnya, menjadi seorang ibu membuat saya harus kreatif, selain menjelaskan jawaban, saya juga harus yakin anak saya mengerti istilahnya. Sering kali saya mati kutu karena tidak bisa memprediksi pertanyaan anak saya.

“Ma, kenapa Rabu libur kok mama ngomel?”

“Hari kejepit.”

“Kenapa kejepit Ma? Hari Rabunya tidak hati-hati ya jadi kejepit pintu?”

Lha, jawabnya gimana nih?


(Tulisan ini diikutkan ke "berbagi pengalaman menjadi ibu" Radio A untuk memperingati Hari Ibu Desember 2010)

13 December 2010

Nonton Bioskop

Film anak-anak yang bagus itu jarang.
Makanya waktu undangan ini datang ke meja saya, saya senang bukan main!


Meskipun Paddle Pop Lion dan pasangannya, Liona, tidak se-keren Power Rangers, tapi film yang sederhana mampu menghipnotis anak saya. Apalagi saya memenangkan tiket ini bersama satu set action figure Paddle Pop. Terbayang dong senangnya anak saya sudah dapat mainan, dapat tiket nonton lagi. Wah!

Menurut saya sbenarnya ceritanya agak gimanaaaa gitu, masih bagusan Kombatei deh.
Tapi karena anak saya suka, makanya saya bisa bilang ini film bagus. Kan penilainya anak-anak. Animasinya oke, jalan ceritanya cukup simpel, trus tokoh2nya juga familiar banget sama anak-anak. Apalagi anak saya juga sudah nonton Kombatei. Jadi oke deh nonton Paddle Pop lagi. Di tengah gersangnya film anak-anak, Paddle Pop Elemagika bisa jadi alternatif hiburan nih!

Sudah begitu, selesai nonton dapat es krim gratis lagi hehehe... kejutan banget. Sayangnya Movie Adventure-nya ramai sekali, jadi kita ngga berkesempatan mencoba.

Nonton bersama anak agak tricky juga. Berikut pengalaman saya nonton sama anak.

1. Pilih film yang pendek. Paddle Pop Bagus... soalnya cuman kurang lebih sejam. Terutama kalau anaknya masih balita. Ada beberapa anak yang bisa duduk diam selama 2 jam, ada juga yang bosenan. Coba sekali dengan film pendek -- or kalau ada kesempatan nobar macam Paddle Pop gitu. Betah ngga anaknya. Kalo betah boleh diajak nonton lagi. Kalo ngga, ya DVD dulu deh, sambil ngajak2 lagi tahun depan.

2. Kenalkan karakter film ke anak. Cara saya memilih film untuk anak adalah memutarkan traillernya di internet. Biar anak saya lihat. Kalau dia suka, dia bilang Oke dan kita nonton. Bahkan waktu nonton Paddle Pop Elemagika pun, saya cari traillernya di internet, sekadar mengingatkan dia tentang Paddle Pop. Memang sih dia sudah nonton Kombatei sampai berulang2 (sampe sekarang pun Elemagika tetap dibilang Kombatei), tapi supaya anak familiar dengan tokohnya, maka saya sering cari traillernya, gambarnya atau apapun yang bisa mengenalkan film tersebut ke anak saya.

3. Jangan segan untuk nonton dulu kalau anda ragu itu film bagus ngga buat anak-anak. Yah, kan bisa nonton bareng teman, suami atau siapa, sebelum anda membawa anak anda. Beberapa film seperti Sherlock Holmes dan Iron Man saya screening dulu sebelum saya ajak anak saya nonton.

4. Pilih jam sepi dan bangku paling belakang. Kenapa? Soalnya anak-anak sering ribut (ini dia kenapa saya suka ikutan kuis nobar, soalnya yang nonton bakalan anak-anak semua dan saya ngga perlu pusing mendiamkan anak saya yang suka cerewet sendiri pas nonton) dan kita sering ngga enak karena mengganggu tetangga nonton. Jangan pilih jam rame (kayak sabtu malam minggu), terutama kalau filmnya ngga anak2 banget. Oke, mungkin Rapunzel atau Megamind ngga apa-apa. Tapi kalau Harry Potter atau Tron gitu, kan banyak ABG nonton, belom yang orang pacaran. Kalo nonton pas rame jam bukan keluarga, kan ga enak juga kl anak kita nangis or rewel karena bosan. Kenapa bangku paling belakang? Supaya kalo anak ngga kelihatan dia bebas berdiri di bangku tanpa menggangu siapa-siapa.

5. Siap keluar di tengah film. Kalau anak anda rewel, jangan bela2in filmnya (kecuali anaknya bisa dibilangin). Jangan ragu untuk berhenti nonton. Rugi? Memang. Tapi ya itu resiko nonton sama anak kecil. Anak saya bosen nonton Tron (buat dia ceritanya terlalu njelimet). Tapi stelah saya bilangin, dia oke untuk nonton sampai akhir, dan kita menyelesaikan film tersebut.

6. Jawab pertanyaannya. Emang sih, anda pasti terganggu kalau di tengah-tengah film anak anda bertanya terus. "Kenapa monster api kalah sama air?" "Ma, itu Shadow Master blom mati ya?" "Ma, itu monster yang angin namanya siapa?" Tapi dengan bertanya, anak belajar, dan dia jadi mengerti ceritanya.

7. Umur berapa bisa dibawa nonton? Saya pertama bawa anak saya nonton "Happy Feet" usia 5bln. Ya ngga rewel sih, kebanyakan dia tidur sama makan doang. Usia 1 tahun dia takut gelap. jadi dia ngga nonton apa-apa. Saya latih dengan nonton DVD di kamar, dimatiin lampunya... lama-lama dia biasa. Bisa nonton lagi usia 2,5thn, film WWF yang kura-kura itu. Agak bosan memang karena documentary. Tapi sejak itu dia berani nonton gelap dan nonton sudah menjadi hobinya. Tiap nonton film dan ada trailler film baru, dia selalu pesan "minggu depan yang itu ya Ma!"

02 December 2010

“Please and Thank You!”

Siapa bilang TV selalu memberikan pengaruh buruk? Kebiasaan baik yang selalu saya ajarkan pada si kecil berasal dari sebuah serial TV.

Saya senang nonton Disney, sampai sering dapat ledekan teman. Sudah punya anak kok masi nonton kartun. Ah, biarin. Yang penting kan saya senang. Ada satu kartun Disney yang menjadi favorit saya, judulnya Kim Possible. Satu hal yang paling berkesan buat saya saat menyaksikan episode kartun ini adalah saat si mama mengingatkan anaknya untuk “always say please and thank you” (selalu berkata tolong dan terima kasih). Si tokoh utama diingatkan untuk selalu sopan dan bersyukur.
Itulah yang kemudian saya ajarkan pada si kecil. Selalu bilang “tolong” jika menyuruh sesuatu dan selalu bilang “terima kasih” saat menerima pertolongan. Ini berlaku termasuk kepada mbak dan supir. Tidak mudah memang, karena yang namanya anak-anak pasti banyak lupanya, atau malah, karena dibesarkan di keluarga berkecukupan, sering kurang menghargai bantuan orang lain. Saya yang harus rajin mengingatkan sampai jadi kebiasaan. Selain itu, saya sendiri juga harus konsisten mengatakan “tolong” dan “terima kasih” supaya si kecil melihat dan meniru.
Yang sulit dilakukan adalah saat dia menerima barang. Dia sering terlalu senang dengan hadiahnya sampai lupa bilang terima kasih pada yang memberi. Setiap kali dia lupa, setiap kali pula saya akan menghampiri dia untuk mengingatkan. “Sudah bilang terima kasih belum?” Kalau sudah ingat, dia akan berlari kembali kepada orang yang member kado untuk bilang terima kasih. Buat saya tidak ada kata terlambat untuk bilang terima kasih. Pernah suatu kali saat pergi dengan opa omanya, Andrew mendapat balon. Dia pulang ke rumah senang dan gembira sambil memamerkan balon barunya. Waktu saya tanya apa dia sudah mengucapkan terima kasih kepada yang memberi, dia menjawab dengan murung “lupa, Ma…” Ya sudahlah, pikir saya, masa mau kembali lagi ke mall?
Minggu depannya, saat saya pergi ke mall yang sama, dia menarik saya ke restoran. Saya pikir dia lapar, eh ternyata dia hanya ingin kembali dan mencari tante pelayan yang waktu itu memberikan balon. Kebetulan si tante memang sedang bekerja dan berjaga di depan. Setelah mengucapkan terima kasih, Andrew menghampiri saya dengan senyuman senang dan sebuah balon baru di tangan. “Dari tante itu lagi, Ma,” katanya.
“Sudah bilang terima kasih belum?” Tanya saya. Dan seperti dugaan saya dia lupa dan langsung berlari kembali untuk bilang terima kasih lagi. Kali ini untuk balon yang ada di tangannya. Kalau tidak, saya minggu depan terpaksa balik ke mall lagi dong. Tapi namanya juga menanamkan kebiasaan baik pada si kecil. Mana bisa sekali dua kali langsung berhasil? Jadi orang tua kan memang harus pantang menyerah, seperti mamanya Kim Possible yang di setiap episode tidak bosan-bosannya mengingatkan, “remember, Kim, always say please and thank you,” saat anaknya berjalan keluar pintu rumah.

01 December 2010

Ngapain Sih Ikutan Lomba?

Baru-baru ini saya ditanya "kamu ikutan lomba tujuannya apa sih?"

Saya bingung jawabnya.Emang ikutan lomba harus ada tujuannya ya? Saya pribadi ngga suka kompetisi. Buat saya lebih baik menghindari persaingan daripada harus berjuang. Piala saya cuman 1, itu pun saya ngga tau kalau ternyata karya saya dilombakan. Plus, saya dulu kurus makanya yang ngga pernah menang lomba balita sehat cuman saya hehehe... Tapi anak saya senang bersaing. Sedikit-sedikit bilang, "ayo, Ma, kita lomba siapa yang menang." Makan lomba, bikin PR lomba, nonton TV lomba, mandi aja lomba. Tinggal tidur aja nih yang belum dilombakan. Kalo yang terakhir itu seh jelas saya yang menang, lha wong saya senang tidur hihihihi.

Tapi ternyata sifat bersaing anak saya itu (yang jelas-jelas nurun dari keluarga daddy-nya), merambah sampe ke lomba yang lebih dari sekedar siapa yang bisa menghabiskan makanan duluan. Ikut lomba A, cuman sampe final. Masih dapat hadiah hiburan sih, cuman saya kok tidak kecewa ya? Apa karena saya memang tidak berharap banyak? Ikut lomba B, menang. Tapi kok tidak excited banget ya? Ikut lomba C, kalah... yang nangis malah anaknya. Gimana sih?


Saya pikir-pikir, ternyata saya masih tidak suka kompetisi. Cuma, karena ngikutin anak yang kompetitif aja, saya jadi ada di ajang lomba ini. Kembali ke pertanyaan yang sempet bikin saya bingung itu. Kalau begitu, ngapain saya ikut lomba segala macam? Kadang-kadang sampai niat cari baju, property, foto... cari mood anak yang pas, cari waktu yang pas, nyetak foto, beli produk, ngisi formulir, and ngirim berkas. Masa semua repot-repot begitu cuman untuk iseng doang?

Saya tanya anak saya habis sebuah lomba fashion show, "kamu ngapain sih ikutan lomba fashion show?" Jawabannya simpel, "karena aku suka." "Suka apanya?" Ngga bisa jawab juga dia. Lama-lama saya pikir, ikutan lomba itu sarana saya buat bersama anak. Waktu sama-sama yang tidak bisa tergantikan. Senang bareng, sedih bareng, cape bareng, bosan bareng. Semuanya sama-sama. Bukan buat menang, bukan buat juara... tapi karena di lomba-lomba itu saya bisa belajar untuk berjuang. Sukur-sukur menang.

Kalau anda? Tujuan ikut lomba apa?