30 August 2015

Menyatukan Persepsi Rumah Idaman

Kalau punya rumah sendiri saya mau yang dapurnya bagus supaya bisa masak. Soalnya saya tidak bisa masak, tapi percaya kalau ada dapur bagus plus oven yang memadai, paling tidak saya bisa memanggang. Lalu si Dudu datang pada saat saya menulis postingan ini dan saya terpaksa “merevisi” denah rumah idaman.

Tony Stark's Mansion.
Photo courtesy of Wikia
Ketika nonton Iron Man, saya jatuh cinta pada mansion milik Tony Stark yang terletak di atas bukit dan menghadap ke jurang itu. Ingin rasanya punya rumah seperti itu, kalau bisa skalian sama Jarvisnya. Walau di dalam film, rumah ini terletak di Malibu, California, lokasi yang sebenarnya adalah La Jolla dekat San Diego, Californa (wah ini udaranya justu enak banget). Rumah seluas 11,000sq ft ini memiliki 4 kamar tidur, 6 kamar mandi dan akses ke pantai pribadi.

Namun lama-lama terasa betapa sepinya Tony tinggal sendirian di sana. Lah, saya hanya berdua. Apa ngga sama sepinya?

Dudu: Wah, ini bagus, Ma. Ada kolam renangnya, lalu bisa ada ruangan rahasia.
Mama: Lalu Mama di ujung sini, kamu di ujung sana.
Dudu: Aku ngga bisa denger dong.

Nah!

Revisi: kita kecilkan ukurannya jadi pas untuk berdua. Tapi masih dengan konsep yang sama. 



Saya minta Dudu menggambarkan rumah idamannya. Ternyata mirip dengan apa yang saya idamkan (foto exterior rumah dari blackxhouse.com). Oke. Secara arsitektur kita sudah sehati. Tapi...

Mama: Ini kotak apa?
Dudu: Elevator, Ma.
Mama: Lalu ini?
Dudu: Ada benderanya dong, seperti castle. Biar semua tahu ini rumah Andrew.
Mama: *tepok jidat*

Konsep rumah saya jelas simple. Mungkin bisa dibilang minimalis. Maunya banyak tembok kosong yang bisa dipajang foto atau lukisan, atau buat background foto si Dudu kalo pas ikutan lomba. Elevator? Mana ada yang begituan di dalam rumah? Daripada memasang fitur tidak perlu, lebih baik kita konsentrasi ke kamar-kamar yang akan berguna. Yang pertama terpikirkan harus ada adalah ruang untuk ngetik dan ngeblog berjendela besar, masuk matahari dan pemandangan indah. Soalnya kalau sudah begitu, mood menulis mendadak jadi lancar dan bisa betah berjam-jam di depan laptop.


Ruang kerja idaman saya
Photos courtesy of Beacont.com
Mama: Harus ada ruangan yang nyaman untuk bekerja. Bisa mengetik dengan tenang...
Dudu: Aku mau ruang game
Mama: Buat apa? Nanti kamu tidak keluar lagi karena main game terus.
Dudu: Jendelanya dibarikade dengan kayu...
Mama: NGAPAIN?
Dudu: Pura-puranya ada Zombie Invasion.
Mama: Ngga usah. Dapur saja yang dibagusin.
Dudu: Tapi istri tercintaku nanti akan ada di dapur.

Errr... Istri tercinta?

Duh, masa saya tidak pernah kebagian dapur? Sekarang ini dapur di rumah milik Mama saya, nanti kalau rumah sendiri jadi milik menantu? Ya sudahlah, saya duduk manis ngeblog saja.

Denah rumah buatan Dudu
Rumah yang saya tempati sekarang dibeli kedua orang tua saya sekitar 15 tahun lalu dari seorang arsitek, jadi tidak heran kalau sudah memenuhi syarat. Ada banyak kamar yang tetap dingin walau AC dimatikan, ada kebun, dan ruang tamu yang luas. Maklum dulu waktu saya dan kedua adik saya masih kecil, rumah ini yang tinggal ada banyak. Ada tempat juga di atap untuk menjemur pakaian atau spiderman nyasar. Tapi kalau rumah idaman, saya mau pakai washer and dryer saja deh, jadi tidak menjemur-jemur baju lagi.

Spiderman nyasar ke tempat jemuran baju
Revisi: rumah harus ditambah taman dan beranda untuk bermain

Ubin merah tempat kita main bersama.
Tempat favorit saya dan Andrew adalah beranda yang lebih sering disebut “ubin merah. Letaknya di beranda luar dan sering digunakan sebagai tempat bermain. Mulai dari menggambar pakai cat air yang bakalan belepotan, petak gunung hingga kembang api. Pokoknya kegiatan yang tidak bisa dilakukan di dalam rumah kita kerjakan di ubin merah. Bahkan Andrew waktu kecil sering mandi di bak yang diletakkan di ubin merah. Tempat ini nyaman karena Mama saya banyak menanam pohon buah di taman yang ada di dekatnya.

Cementum Grey, photo courtesy of www.nirogranite.co.id

Cementum Beige, photo courtesy of www.nirogranite.co.id

Browsing pinterest Niro Granite, saya menemukan alas lantai seri Cementum dari Niro Granite yang Grey mengingatkan saya akan si ubin merah. Selain itu yang Beige sepertinya berguna untuk kamar mandi si Andrew, yang kalau mandi sudah seperti ada tsunami. Kalau dibuat seperti ini kan jadinya mudah dibersihkan dan tidak khawatir licin.

Basaltina, White Basalt, photo courtesy of www.nirogranite.co.id
Basaltina, Grey Basalt, photo courtesy of www.nirogranite.co.id
Sementara kalau urusan kamar mandi, saya lebih suka dengan yang warnanya putih, seperti White Basalt dari seri Niro Granite Basaltina. Siapa sangka lava yang mengeras juga bisa berwarna putih seperti ini. Eh... yang Grey Basalt dipakai di dapur juga keren kelihatannya. Haha, saya bolak balik bicara soal dapur terus ya? Soalnya dapur memiliki makna tersendiri buat saya karena masak itu menghilangkan stress. Jaman saya kuliah, setiap mau semesteran saya kerjanya masak. Dapur jadi penyelamat nilai karena kalau sudah stress belajar maka pilihannya hanya dua: masak atau jalan-jalan. Biasanya pilihan pertama lebih cocok di kantong.

Yang namanya rumah adalah "sanctuary". Berbeda dengan saya yang suka ngelayap, anak semata wayang saya betah di rumah. Jadi rumah harus menjadi tempat yang nyaman untuk kita bersantai, recharge dan pulang. So it has to be Dreams Well Engineered for the two of us.

Would be great kalo bisa ada perpustakaan seperti ini juga
seperti toko buku anak di Beijing. Photo courtesy of Habitots.co.au

27 August 2015

Contemplation on Blessing

Kalau kata d'Massiv, kita harus mensyukuri apa yang ada karena hidup adalah anugerah. Tapi menulis tentang bersyukur itu ternyata susah. Buktinya postingan untuk GA Mak Indah Nuria yang sudah direncanakan sejak awal bulan baru bisa selesai sekarang. 

Precious Moments

Bukannya tidak ada yang disyukuri. Justru susah karena banyak yang harus disyukuri. Mulai dari jalanan yang tidak macet, pekerjaan yang akhirnya selesai dan yang paling penting tentu saja masih sempat menemani anak bikin PR dan bermain. Lalu kembali ke tema postingan: apa yang jadi berkah terindah dalam hidup ini?

Saya punya temen seorang kuter yang setiap hari harus menang satu kuis, meskipun hanya berhadiah pulsa. Saya iseng komentar tentang ambisinya dan jawaban dia cukup simple: "jadi ada yang ditunggu dan disyukuri setiap hari gitu lho, Mbak." Berarti berkah terindah buat dia yang menang kuis itu. Bukan hadiahnya lho yang penting, tapi mention di social media, radio atau tv yang menyebutkan namanya sebagai pemenang. Hm... konsep begini ngga cocok buat saya.

Ini salah satu personil band Korea favorit saya
dan si Dudu yang gayanya sama haha
Band Korea favorit saya (Eaaa apaan nih?) sering mengekspresikan rasa terima kasih mereka kepada fans lewat sosial media. Ketika bulan ini mereka memenangkan penghargaan internasional yang dipilih dari jumlah voting fans (termasuk saya yang ikut gedubrakan one voting a day), lagi-lagi mereka berbondong-bondong mengucapkan rasa terima kasih sama fans. Saya ikut bersyukur sih, cuma ini bukan berkah terindah juga.

Saya mengelola web lomba anak, beberapa bulan terakhir ini peminatnya makin banyak dan bahkan ada beberapa brand yang mengajukan kerjasama. Bangga? Sudah pasti. Repotnya lebih lagi. Bersyukur masih punya waktu untuk mengerjakan web ini dan lebih bersyukur lagi karena sekarang ada teman yang rela membantu. Tapi apa ini berkah terindah? Kayaknya bukan juga.

Lantas apa dong? (Pembaca mulai bete karena saya banyak maunya)

Saya stuck. Blessings are blessings, there isn't one heavier than the other. Dan seperti biasa kalau saya stuck, saya cari ide dengan ngobrol sama Dudu.

Love You Mom
Mama: Du, Mama mau nulis tentang blessings. Apa yang membuat kamu bersyukur?
Dudu: Yang membuat aku bersyukur adalah jika Mama mau membelikan aku Dead Rising.
Mama: Aduhhhh itu zombie lagi. Yang lain dong.
Dudu: Habis apa dong, Ma?
Mama: Yang sehari-hari, yang kamu sudah punya?
Dudu: Aku bersyukur lahir di keluarga ini.
Mama: Serius?

Ternyata buat Dudu, bersyukur itu simple: "Aku sih bersyukur kalau sudah bisa bertemu dan peluk Mama setiap hari."

Mungkin saya tidak perlu pusing cari kuis, tidak perlu stalking band Korea atau sibuk online maintain website. Saat semua listrik dan teknologi mati, saya masih ada cadangan hiburan yang selalu bisa membuat saya bahagia dengan tingkah dan celotehannya. Jadi kita kembali lagi ke jawaban klasik semua ibu-ibu bahwa anaknya adalah berkah terindah nih? Kok kayaknya basi ya?

Dudu: Mama gimana sih? Dimana-mana itu yang namanya seorang Mama pasti sayang sama anaknya. Mama yang ini malah tidak sayang?
Mama: Lha, Mama kan tidak suka anak kecil.

Yup, buat saya punya anak itu awalnya "musibah" karena saya tidak suka anak kecil (plus saya single parent -- tapi itu lebih jadi musibah buat keluarga saya yang repot menghadapi keluarga ketimbang saya yang enjoy aja sendirian). Tapi lama-kelamaan, anak jadi berkah karena kalau tidak ada Dudu ya saya tidak ada bahan nge-blog, tidak ada teman travelling dan pastinya tidak ada tujuan hidup plus bakalan hura-hura berat di negara barat. Kalau kata orang tua saya: "Syukurin biar kamu belajar tanggung jawab dan ngga pulang malam-malam melulu." Well...



Sekarang saya bersyukur punya anak karena hari-hari jadi lebih seru. Dan saya jadi bisa ngeblog berdua walaupun Dudu kalau disuruh nulis susahnya setengah mati dan selalu bilang "Mama saja yang ketikin. Aku ngomong ya." Aduh berkah yang ini banyak akalnya ya.

Jadi setelah mencari kemana-mana dari awal periode GA, saya jadi bersyukur postingan ini bisa selesai sebelum deadline. Terima kasih untuk inspirasi topiknya ya Mak Indah Nuria.


Tulisan ini diikutkan Blessful August Giveaways by indahnuria.com


Bicara Nasionalisme dan Jalan-Jalan

Apa sih yang membuat kita lebih senang jalan-jalan ke luar negeri ketimbang eksplorasi negeri sendiri yang kayaknya kaya, beragam dan indah dari Sabang sampai Merauke? Setelah dipikir-pikir, jawabannya ada di kenyamanan saat bertualang.

Pantai Belitung favorit kita berdua. 
Jalan-jalan di negeri sendiri, kita sudah pasang mental "harap maklum" kalau kena getok harga atau objek wisata yang tak terurus. Tapi kalau bawa turis asing kan jadi malu. Sudah kena harga expat ternyata tidak sesuai harapan. Malu... karena ketika saya berkunjung ke Sentosa, objek wisata setempat mengenakan biaya resident kepada seluruh rombongan hanya karena salah satu dari kami punya kartu penduduk. 

Sementara di Indonesia, saya memang bayar lokal, tapi tamu yang saya bawa tetap kena harga turis mancanegara. Rasanya pengen kabur tutup muka. Sampai suatu ketika seorang sahabat saya dari Eropa menanggapi perbedaan perlakuan di pemeriksaan bagasi Soekarno-Hatta saat kita berdua sama-sama pulang dari keliling Sumatra Barat, "Your country is beautiful, you don't have to apologize for the people and the bureaucracy. I still love your country."

*makin malu*

Jangan salah, saya (dan Andrew tentunya) senang menjelajah Indonesia. Portfolio kita juga sudah lumayan. Andrew senang Candi, Gunung dan Laut sementara saya senang keluar masuk museum dan melihat sejarah. Namun ketika saya bertanya pada Andrew, mau ke mana liburan kali ini, jawabannya selalu sebuah tempat di luar negeri. Yang paling sering disebutkan tentu saja Singapore. Kenapa? “Soalnya Singapore punya MRT, Singapore tidak macet dan kita bisa jalan kaki. Orang di Singapore juga tidak meludah dan buang sampah sembarangan lho, Ma.” Nah lho.

Salah satu foto jalan-jalan favorit kita
adalah waktu pergi ke Candi Gedong Songo
Padahal, kalau soal objek wisata, Indonesia boleh diadu. Namun ketika perjalanan saya membutuhkan stroller dan tempat ramah anak, semuanya berubah. Saya langsung pindah haluan menunjuk negara asal si Andrew, Amerika, sebagai salah satu yang terbaik. Bagaimana tidak? Trotoar yang lebar dan nyaman, rest area yang lengkap dengan informasi turis dan objek wisata gratis untuk anak-anak semuanya ada di sana.

Selain kebun binatang (dan taman), saya paling kangen sama Children Museums di negara Paman Sam. Museum yang dirancang dengan memikirkan sudut pandang anak-anak. Display yang setinggi anak kecil dan hal-hal sederhana yang menyenangkan sekaligus mengedukasi anak-anak yang datang bermain. Museum di sini bukan berarti sebuah gedung dengan kumpulan artifak kuno bersejarah tersimpan dalam lemari kaca, tapi sebuah taman bermain dengan banyak benda yang bisa dipegang dan dimainkan oleh anak-anak.

Ini museum favorit Andrew yang ada di negara tetangga, Singapore Science Center
Tak kenal maka tak sayang, kalau kata orang, maka kita berdua tetap ngotot mau belajar mencintai (dan membanggakan) Indonesia dengan tetap jalan-jalan. Namun ketika biaya pergi ke Raja Ampat beda-beda tipis dengan biaya jalan-jalan ke London, maka saya harus memilih yang kedua. Bukan untuk membanggakan jumlah cap di paspor atau jumlah lembaran yang tertempel di halaman visa, tapi ya yang masuk di akal sajalah. 

Sebenanrnya tidak usah jauh-jauh ke luar Jawa juga bisa bertemu pantai yang indah
seperti di Palabuhan Ratu ini
Tak dapat dipungkiri, selagi kita berada di negara lain itulah kita jadi “brand ambassador“ negara tercinta ini dan saat itulah nasionalisme muncul. Saya harap saya tidak menyesatkan orang karena seorang Mama bermata sipit membawa anak separo bule lantas mengaku sebagai “orang Indonesia.”Tambah seru ketika teman saya yang hitam manis ikut bergabung dalam tim kami lalu kita bilang kalau kita semua tidak ada yang tinggal atau berasal dari Bali. 

Rasa nasionalisme justru muncul di luar negeri ketika saya gemas menjelaskan kepada semua orang di belahan dunia lain itu bahwa di Indonesia selain Bali, masih ada Gili, Derawan, Sabang, Raja Ampat dan tempat-tempat Indah lainnya. Karena biarpun tidak senyaman negara tentangga, ketika kita berada di luar negeri pun, yang sering terpikirkan adalah negara sendiri. 

Tulisan ini disertakan dalam lomba ‘jalan-jalan nasionalisme’ yang diadakan Travel On Wego Indonesia

23 August 2015

Liburan Seru Ke Singapura Dengan Sepupu

Bukan fans travelling rame-rame, walaupun pada beberapa kesempatan kita pergi juga dengan anggota keluarga yang lainnya. Sudah terbiasa jalan berdua Dudu tanpa ribet tanpa harus banyak kompromi. Apalagi kalau pergi dengan keluarga besar, makin banyak peserta, makin banyak ide dan menyatukan banyak kepala itu tidak mudah. Tapi sekali ini saya mengiyakan tawaran Tante saya dan keluarga nya untuk jadi tur guide dalam perjalanan perdana mereka ke luar negeri.

Sebenarnya Dudu paling muda. Tapi badannya bongsor.
Tantangan tersendiri buat saya yang egois ini untuk mengikuti itinerary orang. Tapi buat si Dudu makin banyak orang memang makin asyik. Karena biasanya jadi peserta paling muda dan satu-satunya Anak kecil di acara travelling keluarga. Andrew senang karena ada tiga sepupu saya yang seumuran dia ikutan dalam travelling kali ini.

Mendarat di Changi pagi-pagi, kami berdua harus menunggu pesawat Tante saya mendarat dari kota lain. Untungnya Bandara Singapura ini terkenal canggih dan memiliki banyak fasilitas. Jadi menunggu 5 jam itu tidak terasa karena banyak hal yang bisa dilakukan mulai dari main, jalan-jalan di Taman hingga nonton TV. Buat yg suka shopping, Changi juga banyak pilihan. Nah keseruan dimulai di sini ketika keluarga Tante mendarat dan sibuk dengan segala fasilitas yang ada di Changi sampai lupa keluar dari airport.


Mencari hotel murah untuk keluarga, sebuah hostel backpacker di daerah Lavender juga jadi tantangan soalnya ketika para sepupu saya yang seumuran Dudu ini jarang jalan Kaki. Maklum di Indonesia kan susah trotoar. Jadi begitu jalan beberapa Blok dari MRT, mereka mulai lelah. Tapi karena Dudu semangat dan terlihat santai, mereka jadi tidak mau kalah. Yang ada malah Tante dan Om saya yang kerap tertinggal saat jalan kaki. Tapi enaknya tinggal di hostel, selain murah, jumlah kita pas untuk book satu kamar, jadi tidak perlu khawatir tercampur dengan orang asing.

Seru karena banyak hal baru yang butuh penyesuaian. Mulai dari hal paling simple seperti menyebrang jalan pada tempatnya hingga membeli dan menggunakan karcis MRT. Dudu jadi tur guide dadakan. Jadi setiap kali kita naik MRT, Dudu akan masuk duluan sambil menunjukkan caranya dan saya akan masuk paling akhir karena harus memastikan bahwa semua anggota rombongan bisa melewati gate dengan aman.

Soalnya keluarga Tante ini tidak bisa bahasa Inggris.

Penyesuaian berikutnya adalah kemana bisa pergi? Soalnya saya dan Dudu biasanya keluar jalur dan bahkan pernah muter-muter Singapura hanya untuk berburu buku. Lalu, objek wisata apa yang menjadi lebih seru ketika dikunjungi bersama?

Malam pertama kita ke Orchard. Soalnya si Tante tidak mau ke zoo. Buat apa jauh-jauh ke Singapore kok malah ke kebun binatang, mendingan kita lihat yang di Indonsia tidak ada. Jadilah kita ke Orchard, mondar-mandir antara ION dan Takashimaya sambil foto-foto lalu makan es potong. Lha tadi katanya mau cari yang di Indonesia tidak ada? Alasannya, es potong itu jadi berbeda karena makan di depan ION Orchard. 

Makan Es Potong
Hari kedua kita ke SEA Aquarium di Pulau Sentosa. Thanks to si Tante yang sudah langsung beli tiket sepaketan, kita jadi mampir ke SEA Aquarium yang ternyata bagus sekali. Sorenya kita main di pantai sambil menuggu Songs of The Sea mulai (yap, waktu itu masih Songs of The Sea). Dan karena ada temannya inilah, Andrew jadi semangat main di pantai meskipun cucaca mendadak mendung. Pertunjukan pertama jam 7.40 kita sudah antri dari jam 6 sore, yang menyebabkan tante saya terheran-heran kenapa kita antrinya sepagi seperti mau beli barang diskonan di mall. Haha.

SEA Aquarium dalamnya luas dan bisa lari-larian
Memanfaatkan waktu antri dengan foto-foto
Hari berikutnya, kita mengunjungi Singapore Science Center. Meski sudah bolak balik ke sini, ini pertama kalinya kita pergi bersama dengan anak-anak lainnya. Dudu senang karena ada teman untuk bermain. Apalagi beberapa permainan memang harus dikerjakan beramai-ramai. Tidak heran kalau tempat ini populer sebagai tujuan karyawisata anak. Om saya yang malas ikutan memutuskan buat duduk di restoran cepat saji di depan sementara saya dan Tante saya ikutan masuk dan bermain.



Full-day terakhir kita habiskan di Universal Studios. Ke theme park seperti ini, semakin rame rombongan semakin seru karena biasanya euphorianya jadi lebih terasa. Bisa gantian foto-foto jika tongsis dilarang dan kalau naik wahana tidak perlu sharing dengan orang lain. Dudu juga senang karena ada beberapa wahana khusus anak-anak yang bisa dia naikin bersama seorang teman. Hebohnya bisa dua kali jika dibandingkan dengan kalau naik sendiri!

Beruntung bisa foto bareng The Mummy Returns
Karena ada temannya, Mama ngga perlu temenin Dudu naik ginian
Tapi cerita paling seru terjadi di Food Court. Yah yang ini memang bukan objek wisata tapi, food court dan Kopitiam jadi ajang belajar praktek Bahasa Inggris buat para sepupu saya. Mendekati hari terakhir kunjungan kita ke Singapore, sepupu saya yang paling besar sudah berani memesan makanan sendiri. Soalnya, sebelum ini sayalah yang harus memesankan makanan untuk semuanya. Belum lagi kalau ada yang picky eater lalu mogok makan. Atau yang stress karena saya bolak-balik makan Indian Food yang baunya lumayan menyengat haha.

Anak-anak ini cuma diam kalau lagi makan
Kapok?

Tidak tuh. Si Tante malah sudah mengajak kembali mau ke Singapura. Alasannya? Ternyata sewaktu pulang ke kotanya, orang tua murid di sekolah sepupu saya bertanya kenapa tidak ke kebun binatang kan Singapore Zoo bagus dan terkenal. Jadi sekarang saya diuber-uber sama si Tante (dan ketiga anaknya) buat ke Singapore lagi demi mampir ke kebun binatang tersebut. Waduh.

Tulisan ini diikutsertakan di Lomba Menulis Kompas Travel Fair 2015

20 August 2015

SG50 Koleksi Games Ulang Tahun Singapura

Misi terbaru Mama dan Andrew adalah mencari hal baru yang menarik selain zombie dan tembak-tembakan. Karena game di tab Dudu isinya zombie semua, kita browsing ulang di Google Play dan menemukan bahwa untuk ulang tahunnya yang ke 50, negara tetangga favorit kita, Singapura, ini meluncurkan berbagai macam game seru! Ini favorit kita berdua.

My Singapore City
Ini game pertama yang kita download dan sekarang ada di tab milik Mama juga. "Kamu bisa membangun bangunan, dan setiap kamu membangun bangunan, orang baru akan datang." Yup, ceritanya kita membangun Singapore dari jaman batu. Dengan matching tiles kita mendapatkan bangunan baru yang bisa dipasang di pulau Singapura. Dari setiap bangunan dan orang yang datang, kita mendapatkan cerita sejarah dan kisah tokoh-tokoh penting di Singapura.





Dudu Says: Belajar tentang legenda Singapore seperti apa. Yang menarik bisa main mini game dan menambahkan rumah-rumah. Tapi, setiap orang baru datang, akan ada orang lama yang menghilang karena kamu mengganti rumahnya.

Building The Lion
"Seperti monopoli, tapi sayangnya memainkannya menbutuhkan wifi connection." Yup, game ini sebenarnya seru. Kita bisa memilih untuk melawan players lain ataupun melawan komputer. Mulai dari melempar dadu dan mendarat di salah satu "tanah" di situ kita bisa memutuskan mau membuat apa. Ada hotel, ada kios duren dan sebagainya. Semua khas Singapura. Dan seperti Monopoli juga, yang lewat bayar sementara pemenang ditentukan dengan jumlah harta dan uang yang ada. Grafisnya bagus dan lucu. Setiap bangunan ada cerita dan keterangannya. Seperti ketika kita membuka toko durian, maka ada penjelasan tentang durian.





Dudu Says: Dari sini aku belajar cara main monopoli. Yang menarik, kau bisa membuat bangunan seperti changi airport dan apartment lainnya. Banyak yang aku sudah tahu seperti Sentosa Island. Tapi masih kalah terus nih, Ma.

Satay Club
"Game ini ceritanya adalah seorang Adi yang bekerja sebagai seorang farmer di village menerima letter dari cousin-nya yang ada di Singapore. Adi sangat senang pergi ke Singapore dan melihat cousinnya sukses besar dengan sate. Dia pun membantu perusahaan itu." Diner dash versi tukang sate. Kita jualan sate di Beach Road, mengambil pesanan, memasak dan membuang bekas makan sate. Gambarnya pixelated banget tapi ya untuk game diner dash begini, masih bisa dimaafkan. Yang lebih parah, game ini tidak bisa disave.



Dudu Says: Sayang game ini tidak bisa di-save, aku jadi harus mengulang terus dari awal. Kenapa ya? Aku bisa belajar jadi tukang sate. Jualan sate itu menarik lho, Ma.

Ricksaw Rush
"Ceritanya kamu sebagai tukang becak yang mengantar orang-orang." Sebagai tukang becak, pemain harus mengambil penumpang dan mengantarkannya ke tujuan tepat waktu. Menggerakan tukang becak seperti main pac-man. Kita harus mengatur strategi dan combo agar dapat menyelesaikan misi tepat waktu dan unlock secret passengers. Agak sulit karena kalau mau belok di tengah perjalanan, sering terlewat. Jadi kita harus memikirkan strategi agar bisa mengantarkan semuanya dalam waktu singkat. Game ini orangnya agak pixelated, tapi tetep fun kok.



Dudu Says: Aku paling suka bisa custom characters dan gerobaknya. Aku belajar tentang macam-macam orang yang ada di Singapore. Dari game ini yang susah adalah kamu harus cepat-cepat untuk mengantar VIP guests karena mereka akan marah dalam waktu 6 detik.

14 August 2015

Wajah Baru CGV Blitz

Bioskop Favorit saya berubah. Yang tadinya berdesain interior simple dengan dominasi merah, putih dan suasana remang-remang, sekarang jadi mirip Hogwarts. Namanya pun ganti jadi CGV Blitz. Excited? Sudah pasti. Soalnya berubah untuk lebih baik. Evolving beyond movies.

Pintu masuk CGV Blitz
Pintu masuk CGV Blitz
Ketika nonton film terbaru Detective Conan, saya sempat bengong. Setelah kemarin ke Blitz Megaplex Grand Indonesia yang ditutup sana-sini karena renovasi, sekarang sudah keren bioskopnya. Kesan pertama, bioskop ini seperti castle dengan unfinished interior yang didominasi batu bata dan dekorasi lampu-lampu. Tapi jangan salah. Tempat box office boleh seperti cinema jadul, system pembelian tiket tetep modern. Malah sekarang bukan cuma mesin kotak yang diletakkan di atas meja, tapi full vending machine seperti mesin tiket di stasiun MRT Singapore. Bedanya yang ini ada trailer film diputar.


Pemandangan pertama di dalam CGV Blitz
Mesin Tiket di CGV Blitz
Mesin Tiket di CGV Blitz
Sistem beli tiket dan snacknya masih sama. Dan berdasarkan tanya-tanya ke pak satpam dan mbak yang jual popcorn, kita masih boleh pake new blitzcard dan belum perlu tukar ke CGV Blitzcard. Semoga tidak usah tukar ya. Repot. Baru juga saya excited dengan Blitzcard Asterix dan Obelix saya. Oh iya, beli popcorn masih dapat diskon. Kmaren popcorn saya yang besar (60rb) jadi tinggal 48rb.

 


Pintu bioskopnya juga keren. Hitam dan terlihat kokoh. Seperti mau masuk Hogwarts beneran. Di samping pintu ada denah teater dan nomor studio yang ditulis di tembok bata. Banyak kursi dan meja tempat menunggu. Malah karena comfortable nya, saya malah terpikir bisa nih bikin PR sambil nunggu nonton bioskop. Tidak usah cari Cafe lagi.


Tapi, yang paling brilliant adalah keberadaan Tous Les Jours di dalam bioskop. Say goodbye to standard movie snacks and soda and give a warm welcome to proper coffee that you can bring inside the movie theatre. Ini yang sudah lama ditunggu. Sebagai pencinta kopi, saya paling sebal kalau harus menyelundupkan Americano karena bioskopnya hanya jual cappuccino blended. Even better, di Tous Les Jours ini bisa bayar pake Blitzcard dan dapat poin. Ha-ha.

Tous Les Jours yang ada di Blitz
Bioskopnya sendiri tidak berubah banyak. Masih seperti Blitz yang saya ingat. Studio masih sama lokasinya, toilet juga masih ada di kedua sudut. Lounge tetap di belakang dan tempat jualan Foto itu masih berlokasi di kanan. Hasil browsing berita sih katanya bioskop ini bisa jadi tempat jam session music atau kompetisi seni.

Di CGV banyak quotes. Ini jadi pojok favorit saya

Sambil menunggu bisa duduk-duduk nonton trailler
CJ CGV sendiri merupakan chain multiplex terbesar di Korea Selatan. CGV merupakan singkatan dari "Cultural, Great and Vital. Selain di Indonesia, CGV ada di Vietnam, China dan Amerika Serikat. Yang di Korea pernah jadi tempat comebacknya Shinhwa dan Screening film I.Am - SM Town Live at Madison Square Garden. Ups jadi ngomongin Korea.

Give it a try. Watching movie has never been this awesome!