19 September 2016

Kejujuran Kecil Seorang Mama

Dudu pernah bilang kalau “orang dewasa itu sering mengancam tapi bohong. Soalnya tidak benar-benar dilaksanakan.” Tulisan yang dibuatnya ketika mengikuti lomba menulis Aku Berani Jujur yang diadakan KPK itu membuat saya berpikir ulang untuk setiap ucapan yang saya lontarkan pada Dudu. Jangan sampai karena kebohongan-kebohongan kecil saya sebagai orang tua membuat Dudu sulit mempercayai apa kata orang dewasa, dan lebih parahnya menganggap bahwa ketidakjujuran adalah hal biasa.

Tulisan Dudu di Lomba Menulis "Aku Berani Jujur"
Dunia anak-anak itu simple dan jujur. Karena itulah, saya merasa sebagai orang tua, saya harus bisa menjaga tradisi kejujuran yang ada. Saya ingin membesarkan anak yang berani bilang "aku anak jujur". Seperti kata Pak Yoyo dari KPK di sebuah talkshow bertajuk “Membesarkan Anak Jujur” yang saya hadiri bersama Dudu beberapa waktu lalu, “yang penting kita sendiri jujur dulu.” Dari bangku talkshow itu, saya jadi menetapkan aturan jujur bagi diri saya sendiri. Kejujuran kecil yang saya lakukan, karena dampaknya bisa besar bagi tumbuh kembang Dudu kelak dan hubungan kami berdua. 

Kejadian kemarin malam: 
Dudu: Mama kok tidak tanya nilai aku? 
Mama: Oh iya hari ini kamu correction ujian ya. Dapat berapa? 
Dudu: Bahasa Indonesia aku second best. 
Mama: Yah… kok cuma second? 
Dudu: Mama tidak bangga ya? 
Mama: Nggak. Soalnya second best doang. Mana itu kan Bahasa Indonesia. Pelajaran paling gampang. 
Trus si Dudu sedih. Jahat amat nih Mamanya. Tapi dia tahu saya jujur. Kalau memang buat saya itu bukan prestasi ya kenapa harus obral pujian. 

Nah kalau di momen ini saya jujur bilang dia cakep haha
Sepintas terlihat kecil, tapi penting. Dengan jujur mengatakan “tidak bangga”, Dudu belajar bahwa saya lebih senang melihat dia lulus ujian matematika atau Bahasa Inggris yang dicapai dengan susah payah daripada ujian Bahasa Indonesia yang sudah tidak perlu belajar lagi itu. Dan saya juga tidak hobi berpura-pura senang karena dia berhasil merebut tempat ke dua di pelajaran Bahasa Indonesia. Saya harap dengan begitu, dia juga berani jujur mengungkapkan pendapat dan perasaannya. Hebatnya lagi, pelitnya saya memberi pujian tidak membuat Dudu lantas menyontek demi mendapatkan nilai tinggi. Katanya "menyontek itu menggunakan otak orang lain," dan manalah bangga kalau dipuji karena otak orang lain. Siapa sih yang tidak bangga kalau anaknya berani bilang “aku anak jujur”?

Begitu juga dengan beberapa hal yang saya tidak setuju dia lakukan, misalnya beli game zombie sebulan sekali. Kalau saya dukung, saya akan iyakan dan antar dia ke tempat game. Namun kalau saya tidak suka, saya akan jujur bilang “Mama tidak suka lihat kamu beli game zombie lagi. Kan waktu itu sudah beli. Tapi terserah kamu.” Dan ketika saya mengabaikannya bercerita tentang game tersebut, dia sudah paham, hal itu terjadi karena saya tidak suka.

Mengungkapkan perasaan sebenarnya adalah kejujuran kecil yang sering terlupakan oleh orang dewasa. Dalam salah satu kencan kita di akhir pekan, Dudu sempat batal memakan kue karena saya terlihat ingin makan juga. Tapi karena sedang menyetir, saya tidak bisa meraih kuenya dan tidak mungkin juga makan sambil mengemudi.

Dudu: Mama mau kuenya ya?
Mama: Tidak ah, kamu saja habiskan.
Dudu: Kenapa? Mama sungkan ya?

Sungkan. Dalam tulisannya yang diikutsertakan pada lomba menulis “Aku Berani Jujur” itu, Dudu juga menulis bahwa kejujuran kecil seperti menolak makanan dan minuman karena sungkan dapat memberikan dampak yang besar. “

"Jujur itu dimulai dari hal kecil misalnya ditanya “kamu sudah makan belum?” Kalau kamu jawab belum padahal sudah, kamu akan kekenyangan karena akan dikasi makan lagi. Kalau bilang sudah tapi belum, kamu akan kelaparan. Jadi lebih baik jujur saja." ~Andrew 
Pak Yoyo juga mengungkapkan di akhir talkshow itu bahwa orang tua memiliki banyak tantangan dalam mempersiapkan kejujuran anak. Misalnya soal ujian tentang jumlah saudara kandung, yang jawabannya harus sesuai dengan buku paket yang ada atau yang sudah didiktekan oleh guru, padahal tidak sesuai dengan keadaan keluarga si anak. Belum lagi pelanggaran yang terlihat lumrah dalam kehidupan sehari-hari seperti pelanggaran rambu lalu lintas. 

Tapi ada kalanya si “aku anak jujur” ini juga bikin saya kena batunya. Ketika bersiap pergi ke pesta pernikahan seorang rekan kantor akhir pekan kemarin. 
Dudu: Ini lengan Mama yang seperti paha ayam.
Mama: Tega amat sih.
Dudu: Kan dulu Mama sendiri yang bilang, kalau lengannya sudah sebesar paha ayam.

Jujur sih memang. Tapi kalau ngomong jujur begitu di depan teman-teman sekantor saya ya bikin kesel juga deh.

Berani tampil sebagai anak jujur.
Saya yakin, kalau kejujuran dimulai dari hal-hal yang kecil, dan dimulai dari diri sendiri, saya bisa menanamkan kejujuran itu pada Dudu. Memiliki Dudu yang berani mengatakan “aku anak jujur” adalah sebuah prestasi bagi saya, dan semoga dapat memberikan dampak yang besar juga bagi Indonesia.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.