19 December 2016

8 Teori Blogging dari Belajar Menulis Fiksi

“Bagaimana jika ideku sudah ada yang buat?” Pertanyaan yang terlontar di workshop menulis cerpen yang diikuti Dudu di Festival Pembaca Indonesia di Museum Nasional minggu lalu ini membuat saya ikutan garuk-garuk kepala. Soalnya saya sering merasa begini sepulangnya dari undangan event blogger dan mempersiapkan draft untuk ikutan lomba blog. Ada yang senasib?


Sebelum saya bercerita panjang lebar tentang 8 teori menulis fiksi yang saya “curi” untuk blogging, ada sedikit background story tentang #DateWithDudu hari itu. Festival Pembaca Indonesia diselenggarakan 2 hari, tanggal 10 dan 11 Desember di Museum Nasional Jakarta. Selain workshop yang berhubungan dengan menulis dan membaca, ada beberapa kegiatan lain yang tidak kalah menariknya seperti Bioskop Baca, launching buku, bookswap, blind date with book dan lainnya Yang unik, di sini bukan jualan buku. Kalau mau dapat buku baru ya bawa buku bekas untuk ditukarkan.

(Baca juga: Cerita dari Big Bad Wolf Book Sale)

Dua workshop berbeda (Saya ikutan Workshop “Tembus Dapur Fiksi Femina” dan Dudu ikutan “One Day to Write” di Pojok Anak) yang menimbulkan satu pertanyaan di benak saya: Can we apply this to blogging?

Ternyata kita bisa belajar dari Fiksi. Ini caranya.

1. Pentingnya paragraf pembuka.
“Kalau saya baca paragraf pertamanya sudah tidak menarik dan banyak kesalahan EYDnya, biasanya saya tidak lanjut membaca,” ungkap Rahma Wulandari editor Fiksi Majalah Femina. Meskipun, lanjutnya, ada juga yang mendapatkan kesempatan kedua. Intinya penulis punya, well, sekitar 4-5 kalimat untuk menangkap ketertarikan pembaca. “Pembuka yang menarik membuat pembaca penasaran, bahkan ketagihan,” jelas Lala Elmira, Penggagas One Day to Write di workshop yang diikuti Dudu itu. Lala memberikan tips tambahan pada anak-anak kelas 4-6 SD yang ada di workshopnya: (1) Dialog boleh jadi pembuka dan (2) Masalah boleh dimunculkan di awal.

Blogger mungkin lebih beruntung karena kita punya gambar. Foto ilustrasi yang biasanya muncul bersama dengan paragraf pembuka. Jadi setidaknya kalau paragraf pembuka kita belum mengena di hati pembaca, bolehlah foto kita jadi cadangannya. Ini mungkin yang di drama Korea disebut second lead syndrome haha. Personally, saya menemukan kalau menulis artikel travel bisa lebih dramatis paragraf pembukanya. Tapi sekarang, kalau pergi event, saya jadi senang diam-diam di pojokan dan memperhatikan sekeliling mencari kejadian seru yang bisa jadi paragraf pembuka. Soalnya, kami belajar bahwa sebuah cerita tidak dimulai dengan “pada suatu hari.” Klise.

(Salah satu paragraf pembuka favorit saya ada di cerita #DateWithDudu ke Art & Science Museum Singapore ini)

2. Cari ide, cari angle dan tempatkan di konteks yang tepat
Jadi, kembali ke pertanyaan di paragraf pembuka di atas, bagaimana kalau idenya sama? “Percayalah bahwa ide itu ada dimana-mana. Satu bahan bisa jadi banyak cerita. Sama seperti masakan, bisa beda-beda rasanya,” jelas Lala meyakinkan anak-anak calon penulis masa depan ini. Dan hal ini juga ditegaskan oleh Rahma di workshop Femina. “Ide bisa sama tapi eksekusinya kan berbeda. Stereotype itu menjebak, kenali kehidupan di luar kita. Sesuatu akan jadi penting saat ketemu konteksnya.”



Pojok anak, tempat workshop One Day to Write diadakan
Masalah selanjutnya adalah sudut pandang. Di lomba blog Redwin tahun lalu, saya mengambil sudut pandang seorang ibu yang pusing berat karena anaknya punya kulit sensitif dan telapak tangannya sering kering kalau sabunnya pas tidak cocok. Redwin yang sama, review positif yang sama tapi cerita personal yang berbeda. Produk seperti Redwin memang stereotypenya untuk beauty blogger, tapi saya belajar dan kemudian nekat menuliskan cerita yang di luar comfort zone saya. Yang penting konteksnya ada.

Atau seperti cerpen Dudu tentang “payung” berikut ini, yang ditulis sebagai salah satu praktek workshop One Day to Write:
Paman sedang membeli payung. Setelah itu hujan pun datang. Paman pun mengeluarkan payungnya. Setelah membuka payungnya, banyak orang meminta untuk ikut. Tetapi orang-orang itu mau ke tempat-tempat beda. Setelah mengantarkan mereka, Paman pun akhirnya sampai di rumah tetapi sudah jam 9 malam. Dan Paman bilang, itu terakhir kalinya dia pakai payung.
3. Jangan terlalu banyak tokoh dalam satu cerita.
Saya dan Dudu sudah berdua. Kalau postingan travel kadang ada si Panda. Kalau postingan event ada pembicara yang minimal ada 2. Lalu ada suara dari press release yang kadang mengutip narasumber ke-3 yang tidak hadir di acara. Atau ada pesan sponsor yang memberikan kata sambutan di awal acara. Belum lagi kalau ada blogger atau wartawan yang memberikan pertanyaan menarik, dijawab narasumber lalu kita ingin masukkan di blogpost sepanjang 500 kata. Apa muat? 



Workshop dari Editor Fiksi Femina Rahma Wulandari
Gimana ngakalinnya? Hm, tips dari Rahma adalah untuk meminimalisir dialog. “Kalau tidak perlu ya tidak usah. Informasi dimasukkan ke deskripsi. Fiksi sebaiknya fokus kepada satu karakter pada satu situasi. Riset jangan berlebihan dan fakta tidak boleh kasar.” Kalau diterapkan ke blogging, mungkin jadinya akan lebih menonjolkan satu narasumber yang paling relevan dengan sudut pandang dan cerita kita, sementara yang lainnya hanya disebutkan dalam bentuk deskripsi atau kutipan tidak langsung.

4. Jangan patahkan ending
“Coba pikirkan perasaan pembaca kalian yang sudah susah-susah baca tapi endingnya gitu doang,” kata Lala. Memang kalau sebuah blog itu buat saya lebih mudah menyelesaikan cerita karena bisa menyerahkannya pada kreativitas dan interpretasi pembaca. Tapi tetap sebaiknya menjawab sebuah pertanyaan. Dudu sering komentar setelah menonton film, “aku mau beli DVDnya.” Dan ini saya jadikan sebuah pertanyaan setiap pergi nonton: apakah film ini worth it untuk ditonton ulang? Kalau pergi event, saya sering bertanya sendiri kenapa saya pergi ke sini? Dan apa yang saya bawa pulang?





5. Sense of Place
Dalam workshop penulisan pasti diajarkan 5W1H. Salah satunya adalah “where”. Where di sini bukan hanya menyebutkan nama tempatnya, di jalan apa dan lantai berapa. Tapi bisa juga mendeskripsikannya dengan panca indra. Misal diadakan di restoran yang dekorasi Natalnya sudah dipasang, atau suasana keramaian pada saat acara. Saya paling tidak ahli dengan deskripsi, dan sering minta bantuan Dudu untuk menjelaskan detail ini. Bayangkan Anda membaca sebuah cerpen, yang hanya menyebutkan “seorang perempuan yang hidup di kota besar.” Kota besar yang seperti apa? Macet seperti Jakarta? Atau kotanya saja yang besar tapi penduduknya terpencar-pencar macam di Amerika? Blogpost juga saya rasa sama. Terutama jika menulis travel post. Karena foto hanya berbicara untuk mata, dan bukan telinga atau hidung. Note to self banget ini.

6. Konsisten dengan karater dan alur cerita
“Sifat karakter harus menambah ketegangan cerita,” jelas Rahma. Maksudnya? Kalau kita menulis di blog bahwa kita tidak suka sayur, jangan karena ditawarin endorse healthy catering lantas segala macam yang hijau itu berubah jadi makanan favorit kita. Konsisten ini kadang menyebabkan kita harus mengorbankan beberapa hal. Misalnya saya yang pasti akan kesulitan menulis tentang susu formula karena anak saya sudah 10 tahun. Tapi konsistensi ini juga bisa membawa berkah, alias angle baru dan cerita yang lebih menarik. Saya pernah menulis tentang ERHA, padahal saya hampir tidak pernah berurusan dengan klinik kecantikan. Atau saya pernah duduk bersama beberapa beauty blogger di acara launching produk skincare. Tapi ini dia yang disebut sebagai sifat karakter yang menambah ketegangan cerita. Mungkin banyak di luar sana yang cuek seperti saya, lalu bertemu produk kecantikan dan nekat mencoba. Awalnya awkward tapi lalu penasaran dan akhirnya senang karena dapat pengalaman baru. It becomes more than just a review. 



Kak Lala dari One Day to Write dan peserta Workshop yang antusias
Yang kedua adalah konsistensi alur cerita. Kata Lala kepada anak-anak SD yang sedang mengerjakan tugas menulis cerpennya, “kalau sudah membuat konflik, jangan lupa diselesaikan.” Kadang kita lupa bahwa ada masalah yang harus diselesaikan. Seperti tadi tentang cerita saya dan produk kecantikan. Konfliknya kan bagaimana saya yang cuek ini takut bertemu dokter kulit atau deg-degan berat dengan hasil skintest saya. Setelah semuanya berakhir, happy endingnya jangan lupa ditulis. Jangan sampai dari deg-degan lalu kita terbawa suasana bicara produk dan jasanya, lalu lupa menuliskan bagaimana kita sendiri akhirnya berdamai dengan konflik tersebut.

7. Ragam Kosakata
Mendengar anak-anak SD membacakan ceritanya, saya bisa mendengar kata yang sama diulang berkali-kali dalam satu kalimat. Bosan? Pasti. Jadi kalau kita menulis blog, coba dibaca ulang, siapa tahu ada kata yang kembar di dalam satu kalimat. Atau mungkin ada penyebutan yang bisa diganti dengan informasi baru sekalian kata-kata yang SEO friendly hehe. Tapi, “jangan gunakan kosakata sulit hanya karena ingin terlihat keren,” saran Rahma.

8. EYD
Setiap saya ikut blogging workshop, yang namanya typo dan EYD selalu tidak bosan-bosannya disebut oleh pembicara. Ini juga sama. Seperti yang dikatakan Rahma di awal postingan, tulisan dengan banyak typo dan EYD yang tidak tepat bisa membuat pembaca ilfeel. Cuma berlaku untuk mengirim fiksi ke Femina yang editornya harus membaca ratusan judul setiap minggunya? Nope. Bayangkan kalau Anda juri lomba blog yang harus membaca satu per satu entry yang masuk. Mana yang akan tersingkir duluan? Tentunya yang membacanya bikin capek, alias yang banyak typo dan berantakan EYDnya.



Selain Workshop, Festival Pembaca Indonesia punya booth, launching buku
an banyak kegiatan seru lainnya.
Ketika workshop kedua selesai, museum sudah tutup dan festival hari pertama sudah berakhir. Sedih juga karena banyak yang belum sempat kami kunjungi. Next year, kalau ada lagi, saya dan Dudu mau siap-siap bawa buku bekas, ikutan blind date dan bookswap. Karena acara inilah saya jadi tahu bahwa Museum Nasional tempat parkirnya luas dan enak, lalu tiket masuknya hanya Rp. 5000. Boleh juga next #DateWithDudu ke sana lagi.

4 comments:

  1. Iyes, aku juga pernah dapat hal serupa dari penjelasan saat workshop menulis dari Rumah Dunia, aka Gol A Gong. Tapi saat menulis masih suka bingung..hahaha, hilang arah. Terkadang aku pengennya sudut pandang yg nyeleneh ... yg lain daripada yg lain ... tapi susah euy...xixixi.

    Btw itu bener tuh jangan patahkan ending. Busyet ... pernah baca beberapa, kirain masih panjang, eh taunya patah sebelum berkembang...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setujuuu haha, sudut pandang itu susah. Mau nyeleneh takut ngga nyambung ya. :(

      Delete
  2. Replies
    1. Seru banget Mba. Meskipun aku bukan penulis fiksi ya. Ternyata ilmunya mirip-mirip.

      Delete

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.