19 March 2017

Fangirling dari Sudut Pandang Seorang Mama

Saya menyebutnya “gila karena idola”. Bukan hal baru karena 20 tahun lalu saya juga sibuk ngefans parah sama Backstreet Boys, yang berlarut-larut sampai kuliah saja maksa harus ke Amerika. Lalu ada F4, yang sempat membuat saya ganti selera, plus maksa kalau mudik itu transitnya pasti di Taiwan. Sekarang namanya “fangirling,” dan yang diikuti adalah artis Korea. Same phenomenon, same style, same effect. Ada positif, ada juga negatifnya, apalagi buat saya yang punya tugas tanggung jawab sebagai Mama Dudu.

Ketika mention-mentionan di Twitter berlanjut di Whatsapp dan akhirnya menetapkan Fangirling sebagai tema postingan bersama Vita Masli, saya jadi merenung. Di usia yang sudah mendekati 35 ini memangnya masih pantas fangirling ya? Hahaha. Well, just like how boys will be boys, I believe there’s a little girl in every woman. 


Baca postingan Vita Masli tentang Fangirling dulu dan sekarang


Positifnya:

Motivasi Belajar Bahasa Baru
Saya punya bucket list belajar 7 bahasa sebelum usia 30 dan di tengah kerja, ngurus anak dan lainnya saya lupa sama tekad yang satu itu. Sampai akhirnya saya jadi ELF yang putus asa dengan terjemahan di konser dan lelah menanti subtitle drama serta variety show. Apalagi setelah menyadari bahwa bias saya bahasa Inggrisnya hampir tidak ada. Apalah arti 4 jam seminggu dan 800rb/semester untuk bahasa baru yang memungkinkan saya komen di sosial media bias dan paham celetukan dia. Jadilah di usia ini saya ikut kursus Bahasa Korea dan sekarang sudah masuk level 2. 

Berharap yang mengajar bahasa Korea itu begini gurunya. 
(photo: My Korean Teacher movie)
Awet muda
Yang namanya fangirling itu biasanya dialami oleh remaja. Jadi saya punya banyak teman yang masih kuliah dan bahkan SMA berkat bias saya. Okelah Super Junior termasuk lawas. Tapi kalau saya turun lagi ke EXO, atau bahkan dedek gemes yang saya temui di airport kemarin (GOT7?) saya jadi makin awet muda. Di kelas bahasa Korea, saya yang paling tua, dengan beda umur 15 tahun sama maknae kita yang masih SMA. Tapi energi dan semangat kita sama kalau soal fangirling. Saya tidak pernah berasa 30an kecuali ketika saya tidak kuat berdiri terus sepanjang Supershow 6 dan dipanggil "ibu" sama sekuriti di konser KRY yang mengira saya ke sana mengantar anak remaja.

Mas, tolong ya, itu artisnya masih seumuran saya.

Ice Breaker lintas usia, lintas benua.
Bicara tentang EXO, di pertemuan keluarga beberapa waktu lalu saya sukses ngobrol panjang dengan seorang sepupu yang sudah 15 tahun tinggal di Amerika dan bahasa Indonesianya terbata-bata. Semua keluarga bingung kok kita nyambung, terutama karena perbedaan usia. Dan EXO lah yang jadi penyelamat kita. Begitu juga dengan seorang Tante yang seumuran Mama saya, penggemar drama Korea sejak Winter Sonata. Sejak saya sibuk fangirling, kita jadi akrab karena nyambung. Di dunia maya juga sama. Di dunia nyata apalagi. Kalau sedang canggung, saya kadang iseng bertanya "Pernah nonton Goblin?" Atau, "tau Train to Busan?" Dan obrolan akan menyambung sendiri dari sana.

Gara-gara Ryeong-gu, Dudu jadi sebel poni nyamping begini. Hahaha.
Toleransi
Sebagai fangirl kelas berat boyband Amerika, saya stress dengan fandom Kpop dan agency yg kelewat lebay. Kalau di barat artis itu dewa, di Korea, artis itu pekerja. Cinta pertama saya, anggota boyband itu, pernah punya skandal video dengan Paris Hilton dan ditangkap polisi karena memukul orang di klub. Dibandingkan itu, Kangin dan DUInya tidak ada artinya. Tapi dari situ saya belajar toleransi, belajar memahami bahwa di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Ini juga berlaku untuk saya yang sering susah move on dan menerima fakta bahwa saya sekarang tinggal di Indonesia. Fangirling ala Korea mengajarkan respect, privacy, hardwork dan yang terpenting: toleransi.

Leadership
Saya selalu bersyukur mengenal sosok Leeteuk karena banyak hal tentang leadership yang saya ambil dari nasihatnya, ceritanya dan kelakuannya. Meskipun dia bukan bias saya, tapi buat saya dia adalah malaikat yang sesungguhnya. Teori-teori tentang bagaimana seorang pemimpin harus mendengarkan bawahannya, atau mengerti bahwa lelah itu manusiawi bagi seorang pemimpin, yang biasanya dicurhatin tapi tidak bisa curhat kemana-mana lagi.

“There’s no right answer. You just have to keep (being a leader) and one day, the answer will come to you. You will continuously face obstacles, fall down, cry and suffer setbacks, but at some point you’ll accumulate a lot of life experiences. So, don’t think too much about how to do well right now. Always caring towards the members and compromise yourself for the team. I think that will be the best leader.”
~ Leeteuk on Sukira 2015, answering to a listener’s question on how to be a good leader.
Ini leader saya. Sudah bisa pidato depan mentri dan pengusaha. Hehe
(Photo taken from IG @xxteukxx)
Tapi semua ini akan hanya jadi pembenaran kalau saya tidak menuliskan hal-hal negatif dari kebiasaan fangirling ini. So here are the other side of the coin.

Negatifnya:

Jadi saingan anak
Dudu selalu bertanya, "Mama lebih suka aku atau Yesung?" Dan sebenarnya pertanyaan ini agak Jleb hahaha. Gara-gara Fangirling saya yang berlebihan, Dudu jadi sebal sama bias saya. Kalau bias dan anak sudah bersaing memperebutkan perhatian saya, rasanya sudah jadi negatif deh. Tapi saya bersyukur anak saya si Dudu itu super toleran. Coba discroll ke bawah, anak baik itu menemani saya fangirling plus buang-buang uang ke Whystyle Pop Up Store di Jakarta. Lalu dia juga sudah oke menemani saya ke Mouse Rabbit kalau kelak kita pergi ngedate ke Korea. Hanya saja dia pesan, Yesung tidak boleh jadi pacar saya karena dia tidak mau punya Papa yang seperti banci. Hahahahaha.

Kalau Mama lain pasang foto anak dan keluarga, wallpaper saya foto bias dong.
Cibiran tetangga
Selain Dudu, yang sebal juga teman-teman saya. Soalnya selain saya terlambat suka Kpop, biasanya saya juga terlalu antusias kalau fangirling. Sementara teman-teman sudah lewat masa heboh tersebut. Lebih parah lagi kalau sedang ada di lingkungan non-kpop. Siap-siap dicibir dan dianggap labil. Padahal kpop kan bukan hanya milik remaja masa kini, ibu-ibu juga boleh dong ngefans.

Punya dunia sendiri
Kpop juga bisa membuat kita tenggelam di dunia sendiri. Nonton drama, atau reality show yang berkepanjangan membuat kita lupa waktu dan lupa banyaknya kuota yang sudah terpakai. Kadang, saking serunya nonton drama atau browsing berita artis, kita jadi lupa kalau orang-orang sekitar nontonnya Oscar dan Grammy, bukan Golden Disc atau apalah yang sejenisnya itu. Ups.

Kebanyakan bergadang
Selain kuota, waktu tidur juga berkurang drastis, terutama ketika bias main drama dan daranya seru banget. Bisa bela-belain, nonton sampai pagi, lalu bangun mengantuk. Lalu karena drama si bias yang Voice itu horor dan saya takut nonton malam-malam, jadi saya nontonnya siang lalu dirubah jadi ngeblognya yang malam. Ya sama aja sih akhirnya tetap bergadang juga.

 

Dompet tipis sebelum waktunya
Punya idola saat sudah bekerja memang lebih enak karena kita punya uang sendiri. Mau nonton konser ya tinggal hitung gaji, tidak perlu menunggu kemurahan hati papa mama atau menabung dari uang saku. Masalahnya karena fans setia, terkadang kita tidak pikir dua kali untuk membayar jumlahnya lalu mendekati tanggal tua baru sadar uang sudah menipis.

Jadi, kalau Anda, cerita fangirlingnya seperti apa?

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.