18 July 2017

Seperti apa Museum Nasional Saat Ini?

“This museum is testing my patience,” ujar seorang anak bule yang diminta menitipkan backpacknya sebelum memasuki ruangan pameran. Itu terjadi setelah kita tidak bisa masuk lewat pintu parkiran, melainkan harus naik lewat jalan keluar mobil karena loket ada di atas dan pintu yang ke parkiran hanya digunakan untuk keluar. Museum yang aneh ini adalah museum tempat saya field trip waktu SMP. Namanya Museum Gajah. Familiar?



Dan sekali itu saya mengajak si anak bule, alias Dudu, ke Museum Nasional karena kita sudah mentok tidak tahu mau pergi ke mana lagi. Ah, kenapa harus dimulai dengan Dudu yang ngedumel? Untungnya seiring perjalanan dari satu lantai ke lantai berikutnya, Dudu sudah ceria lagi. Sudah lupa sama hal—hal yang merepotkan di depan tadi. Dari sini saya belajar satu hal: kalau masuk tempat wisata di Indonesia, jangan keburu jadi ilfil dengan apa yang ada di depan, tapi coba nekat masuk terus ke dalam karena bisa saja kita bertemu banyak benda dan pengalaman berharga.

Karena itu saya dan Dudu bertekad untuk lebih sering bermain ke museum yang ada di Indonesia.

Museum Nasional alias Museum Gajah sudah banyak berubah. Saya dan Dudu sudah pernah datang ke sini beberapa waktu lalu untuk acara buku, di mana si Dudu ikutan workshop menulis cerita di daerah anak-anak. Dari situ kita bertekad balik lagi demi melihat-lihat apa isi museum ini sebenarnya.

Tiket masuknya murah. Saya datang berempat, dua dewasa dan dua anak, dengan total tiket Rp.14,000. Dewasa Rp.5,000 dan anak-anak Rp.2,000. Tiket bisa dibeli di lobby depan gedung B karena gedung A sedang renovasi hingga Juli 2018. Lama juga ya. Setelah beli tiket, kita mengisi buku tamu dan mendapatkan brosur tentang Museum Nasional.

Sejarah berdirinya Museum Nasional kembali ke jaman penjajahan Belanda ketika sebuah himpunan sebagai dampak dari revolusi intelektual yang terjadi di Eropa tahun 1778. Himpunan ini berfokus pada penelitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan. Koleksi pertamanya menempati rumah di daerah Kota milik JCM Radermacher. Kemudian, ketika Sir Thomas Stamford Raffles memerintah Jakarta, sebuah gedung baru di dekat istana kepresidenan karena rumah yang lama sudah penuh. Ketika gedung ini akhirnya penuh juga, Museum Nasional yang sekarang dibangun tahun 1862 pada masa pemerintahan Belanda. Museum ini pertama kali dibuka untuk umum pada tahun 1868. Tahun 1871, Raja Rama V dari Thailand berkunjung ke Museum Nasional dan menghadiahkan sebuah patung gajah perunggu yang kemudian dipajang di halaman depan museum. Karena itulah, kebanyakan warga Jakarta, termasuk saya dan Dudu, mengenal tempat yang satu ini sebagai Museum Gajah.

Museum Nasional tutup di hari Senin dan hari libur nasional. Hari Selasa – Jumat buka jam 8.30 hingga 16.00. Sementara hari Sabtu/Minggu, museum ini buka jam 8.30 hingga 17.00. Selepas makan siang, ada banyak rombongan anak-anak yang datang ke museum ini, jadi mungkin lebih baik datang di pagi hari. Secara keseluruhan kami menghabiskan waktu sekitar 2 jam untuk mengelilingi 4 lantai di Gedung B. Meskipun saya sebenarnya ingin melihat-lihat koleksi arca di Gedung A, tapi mungkin Gedung B yang merupakan gedung baru itu, juga punya banyak cerita yang tidak kalah asyiknya.

Ada apa di Museum Nasional?

Setelah masuk museum, backpack harus dititipkan. Ini yang membuat Dudu sedikit sebal karena kita masih jetlag dari kunjungan ke museum di negara tetangga yang tidak pernah meributkan barang bawaan yang bukan makanan dan minuman yang dipegang di tangan. Tapi Museum Nasional memang bukan museum interaktif yang bisa dipegang-pegang oleh anak-anak, jadi maklum saja kalau suasananya terasa lebih kaku dengan peraturan yang lebih macam-macam. Yang pertama menarik perhatian tentu saja kegiatan membatik di depan pintu lantai 1 gedung B. Dudu pernah membatik dan keslomot kompornya. Karena duduk dan membatik memakan waktu cukup lama, maka kita memutuskan untuk masuk ke museum dulu. 





Lantai 1 berisi manusia purba dan pra-sejarah. Mulai dari kuburan hingga diorama ada di sini. Meskipun tertarik dengan konsep “manusia berasal dari monyet” ini, Dudu melewatkan banyak bagian di lantai satu dan langsung ke lantai 2 lewat eskalator. Lantai 1 penuh dengan tulisan dan gambar, jadi meskipun mudah bagi anak-anak untuk belajar, lantai ini bisa jadi membosankan karena tidak banyak lagi yang bisa “dilihat” selain fosil yang ada dalam kotak kaca. Untuk memancing Dudu mengintip dan membaca keterangannya, saya mengajaknya main tebak-tebakan fosil.

Lantai 2 berisi Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Ekonomi yang memuat banyak prasasti dan tulisan kuno. Ada cara membaca aksara Jawa juga yang tentunya menarik buat Dudu yang senang dengan kode. Prasasti yang di batu ini tidak boleh disentuh, jadi yang membawa anak kecil harus mengawasi karena beberapa prasasti dibiarkan terbuka dan tidak terletak di dalam kaca. Naik lagi ke lantai 3 ada Organisasi Sosial dan Pola Pemukiman yang mengedukasi tentang budaya kemasyarakatan Indonesia. Lantai 4 in paling seru karena ada koleksi emas dan benda-benda semacam tembikar dari pejuru negeri misalnya mangko dari Cina. Sayangnya di Lantai 4 ini kita tidak boleh memotret.

Kita turun ke lobby dengan lift, yang keluar langsung di belakang dioarama manusia purba. Lalu sebelum pulang kita menyempatkan diri untuk membatik. Kalau hanya mencoba saja gratis, namun jika ingin membawa pulang hasil karya, kita bisa membayar Rp.50,000 untuk mengganti biaya kain dan lilin malam. Ada seorang bapak yang mengajari dengan sabar, sehingga baik anak-anak ataupun dewasa dapat mencoba kesenian Indonesia. 







Parkir & Transportasi

Museum Gajah punya parkiran basement dengan tarif Rp.5000 sekali masuk. Ini salah satunya yang membuat saya berniat untuk berkunjung. Parkirannya mirip di mall, bersih dan sudah secure parking. Hanya saja, tidak seperti di mall, untuk masuk ke museum kita harus keluar ke lobby atas museum melalui jalan naik/turun mobil karena belum ada pintu langsung dari basement yang bisa naik ke atas. Pintunya ada, hanya saja tidak dibuka. Tapi, kalaupun tidak menggunakan kendaraan pribadi, museum ini sangat mudah dicapai dengan kendaraan umum karena letaknya persis di seberang halte busway Monas. Dari Stasiun Kereta Juanda atau Senen pun sebenarnya dekat kalau mau naik ojek.

Museum Nasional ini menurut saya lebih cocok jadi tempat kunjungan wisata jika anak sudah setidaknya kelas 3 SD, bisa membaca dan mungkin mendapat pelajaran IPS dan sejarah. Saya pribadi menyukai budaya dan antropologi, sehingga museum ini menarik sekali untuk saya. Dudu paling excited di bagian koleksi emas dan guci antik karena selain dia bisa lihat emas, dia juga bisa melihat jalur pelayaran kapal, lalu ada cerita tentang kapal yang tenggelam dan muatannya ikut tenggelam sampai akhirnya ditemukan dan diangkat oleh kapal berikutnya. Jadi seperti menyaksikan kisah harta karun!

Pokoknya sekarang ini tiada alasan untuk tidak berkunjung ke Museum Nasional.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.