11 June 2017

Pesan Budaya End of Black Era

End of Black Era adalah film bergenre fantasi yang hadir dengan sebuah misi untuk memperkenalkan budaya Indonesia, dalam hal ini kain lurik dan kerajinan tembaga dari Jogjakarta, kepada anak muda Indonesia. Minggu lalu, saya dan Dudu nge-date sambil memenuhi undangan menyaksikan screening film pendek dari seorang costume designer bernama Aryanna Yuris. Film pendek yang setelah selesai nonton jadi pengen ngomel-ngomel minta lanjutannya dibuat segera hahaha. 


Cerita End of Black Era termasuk sederhana. Neewa melarikan diri dari sang Malapetaka dengan membawa Talisman yang diwariskan kepadanya. Ketika putus asa, Neewa memohon untuk diselamatkan. Namun bukanya selamat, Neewa malah terperosok ke dalam jurang. Kalau dilihat lagi, jurang itu justru menyelamatkan Neewa karena si Malapetaka jadi lewat begitu saja dan tidak melihatnya. Di jurang itu juga Neewa bertemu 4 orang dengan kostum aneh yang hubungannya bisa dilihat di episode berikutnya.

Pesan yang ingin disampaikan film pendek ini cukup jelas, terkadang apa yang kita lihat sebagai kemalangan adalah upaya yang maha kuasa untuk menolong kita. Ketika kita bertemu malapetaka, bukan berarti lantas kita dapat cobaan, karena kadang melalui malapetaka itulah kita mendapat jawaban, jelas Yongki.

Kalau mengikuti Oscar alias Academy Awards, yang saya tunggu-tunggu bukan pengumuman Best Picture, Best Actress atau Best Actor tapi Best Costume, Best Soundtrack dan Best Screenplay. Soalnya, meskipun aktornya penting, tapi saya lebih senang memperhatikan kostum dan properti pendukung lainnya karena mereka pasti punya cerita dan pesan sendiri yang ingin disampaikan.

Sama seperti End of Black Era, yang ketika kita bertemu Neewa dan penduduk desanya, kita paham makna dan cerita yang ingin disampaikan kain lurik dan hiasan telinga yang merupakan detail kostumnya. Soalnya sebelum kita dipertemukan dengan Neewa, sang tokoh utama, di screening ini kita bertemu dengan dua tokoh dibalik kostumnya.
Hasil Karya Pak Baidi - Photo taken from @EndOfBlackEra
Pak Baidi adalah salah satu pengrajin tembaga dari Jogja. Pengrajin kecil seperti Pak Baidi bekerja dengan sistem (yang menurut saya bisa dikategorikan) freelance dengan toko-toko perhiasan di jalan besar. Kalau ada bantuan pemerintah pun, toko-toko inilah yang mendapatkannya. Pengrajin kecil seperti Pak Baidi harus berbagi jatah sesuai porsi orderan dari toko dan biasanya hanya mendapatkan sepersekian dari yang seharusnya. Padahal pekerjaan Pak Baidi tidak mudah dan tidak instant.

Mba Reso adalah seorang pengrajin tenun gendong yang terakhir, mungkin di Indonesia. Generasi muda lebih memilih teknologi yang memudahkan proses pembuatan kain lurik dibandingkan yang tradisional seperti Mbah Reso. Anak perempuan Mbah Reso sendiri menolak meneruskan tradisi tersebut dan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) yang bisa memproduksi lebih cepat dan lebih banyak. Mbah Reso dengan tenun gendongnya hanya mampu membuat 1 lembar kain dalam 5 hari. Kain tersebut dihargai Rp.20,000 oleh tengkulak.

Tenun Gendong Mbah Reso - Photo Taken from @EndOfBlackEra
Apa hidup mereka cukup?

Satu hal yang mengejutkan adalah menyadari bahwa kita yang tinggal di perkotaan dengan uang dan penghasilan yang relatif jauh lebih banyak ini selalu merasa kekurangan, sementara para pengrajin yang kita anggap kurang, malah merasa berkecukupan asalkan sudah bisa makan. Begitu cerita Yongki Ongestu sang filmmaker, yang kemudian membuat saya jadi tertegun juga.

Lalu apa misi yang pencerita, pemilik ide sekaligus pencipta tokoh Neewa? Aryanna, melalui Yuris Laboratory miliknya, ingin menjembatani cerita para pengrajin tradisional dengan dunia anak muda masa kini yang didominasi teknologi. Genre fantasi, yang masih jarang di Indonesia ini, menjadi alatnya. Aryanna dan Yongki nekad masuk ke genre fantasi karena kalau hanya dokumenter tentang budaya, pastinya tidak akan menarik anak muda.

“Film pendek menggantikan fashion show yang biasanya dilakukan designer,” jelas Aryanna. “Kalau dengan budget yang sama bisa jadi sebuah film pendek dan bisa dibawa kemana-mana tanpa harus membangun sebuah show dari awal, menyewa model, daftar ke penyelenggara, kan jadi lebih mudah. Jadi bukan hanya one-time show.” Yes, setuju. Apalagi dengan misi pelestarian budaya di belakangnya.

Membuat film ternyata tidak semudah bayangan Aryanna, apalagi sebagai seorang seniman, dia harus berhadapan dengan Yongki yang juga punya idealisme tersendiri tentang shooting End of Black Era. Jadi kendala terbesar mereka adalah berdamai dengan realita. Contohnya adalah kostum Neewa dan penduduk desanya, yang semula menggunakan lurik semua. “Tapi karena lurik kan garis-garis jadi di kamera ada flickernya,” cerita Yongki.

Sepertinya berhasil karena Dudu jadi sangat antusias, bahkan menyempatkan diri bertanya kepada kedua pembuat filmnya.

“Om dan Tante, benda apakah itu yang dibawa oleh Neewa dan apakah itu juga dibuat oleh orang yang kalian sewa?”

Segera saya sikut anaknya, “pengrajin, Du. Namanya pengrajin.” Lha tapi memang kata pengrajin itu asing dengan lidah Dudu.

Karena sibuk dengan kain dan hiasan baju Neewa, saya malah tidak seberapa memperhatikan benda kuning yang disebut-sebut sebagai talisman dan dibawa-bawa Neewa masuk ke hutan. Ternyata benda tersebut adalah belerang.

Banyak pertanyaan belum terjawab ketika film ini berakhir. Apa yang harus Neewa lakukan dengan belerang talisman itu? Siapa keempat orang yang muncul menjelang akhir cerita (dan kostumnya keren banget pula)? Bagaimana dengan desa Neewa? Apakah si malapetaka kembali ke desa itu? Sepertinya saya harus menunggu untuk mendapatkan jawabannya.


Check out Instagram @EndOfBlackEra for screening info.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.