18 September 2017

Gadget untuk Anak vs Me Time Mama

Selembar survey mendarat di pangkuan saya dengan pertanyaan bertuliskan “apa yang paling Anda khawatirkan dari pemberian gadget kepada anak Anda?” Masalah apa yang akan timbul kalau anak punya gadget sendiri? Kira-kira begitu maksud pertanyaannya. Hm… apa ya?

Miss Stella dari RISE yang menjadi moderator acara diskusi kita. (Photo by Single Moms Indonesia)
Ketika itu saya sedang menghadiri acara diskusi yang diadakan oleh Komunitas Single Moms Indonesia dan RISE, yang dikenal sebagai kursus bahasa Inggris untuk anak 2-12 tahun yang kini memiliki beberapa cabang. Acara tanggal 26 Agustus tersebut diadakan di RISE Central Park, tepat ketika Dudu baru sebulan punya HP. Beli pakai uang sendiri, patungan sama teman saya untuk hadiah ulang tahunnya. Selain HP, gadget si Dudu adalah tablet yang dibelinya juga dengan uang sendiri, dan Playstation 4 yang dibeli dengan uang hasil saya menang kuis 10 juta itu. Pas dengan tema “Gadget and Children: How to Use Them Wisely,” yang jadi tema siang hari itu.

Gadget, alias gawai dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, sering jadi masalah untuk orang tua. Apalagi, sebagai Single Mom yang tidak punya banyak waktu “me time”, dan tidak punya pasangan untuk gantian pegang anak, saya sering juga menjadikan gadget sebagai babysitter. Dudu sampai pernah bilang, “Mama pasti senang sekarang karena aku asyik main PS dan tidak mengganggu waktu istirahat Mama lagi.” Itu saja sebenarnya sudah merupakan kekhawatiran sendiri.

Lalu akhirnya saya menuliskan kekhawatiran saya dan mengumpulkan kertas surveynya.


Satu persatu curhatan para Mama di kertas survey mulai dibacakan Miss Stella dari RISE yang juga bertindak sebagai MC dan Moderator acara siang itu. Concern paling banyak adalah tentang kecanduan gadget pada anak usia batita. Sekali pegang tidak mau lepas lagi. Awalnya dipinjamkan, diijinkan menggunakan gadget si Mama. Habis itu gadgetnya pindah hak kepemilikan. Masalahnya, kalau keterusan hal ini berbahaya bagi tumbuh kembang si kecil.

Untuk Mama dengan anak yang mulai remaja dan punya media sosial sendiri, keamanan jadi kekhawatiran utama karena banyaknya bahaya seperti pedophilia di dunia maya. Beberapa aplikasi seperti Snapchat juga memungkinkan anak berinteraksi di dunia maya tanpa mengetahui wujud asli lawan bicaranya. Atau kemungkinan anak terpapar konten yang lebih cocok untuk orang dewasa dari saudara sepupu yang lebih tua ketika menghadiri acara keluarga.

Lalu ada juga kekhawatiran Mama akan perkembangan anak, terutama bagi mereka yang kenal gadget sejak bayi. Ada Mama yang berpikir bahwa tayangan edukatif di Youtube dapat menstimulasi otak anak, namun setelah anaknya lebih besar ternyata matanya malah jadi minus. Ada juga Mama yang khawatir tentang stimulasi motorik bayi karena pernah melihat ada anak yang meskipun bisa swipe screen di layar tablet, namun gagal menyusun balok.

Lalu concern saya apa?

Dengan adanya HP ini berarti Dudu officially punya whatsapp serta akses email dan instagram sendiri tanpa harus meminjam HP saya. Punya nomor sendiri dan harus isi pulsa sendiri. Jadi kekhawatiran pertama saya harusnya jumlah uang yang keluar untuk beli pulsa haha. Tidak juga sih karena setelah hampir 2 bulang punya HP, Dudu ternyata bukan tipe yang menghabiskan kuota.

Bukan kecanduan?

Nope. Yang pertama adalah manner. Dudu yang blak-blakan sering membuat saya khawatir apakah lawan bicaranya akan tersinggung. Apalagi bahasa chatting berbeda dengan bahasa yang diucapkan. Belum lagi kalau ada pesan berantai yang sering diforward ke banyak orang termasuk teman-teman saya.

[Baca juga Gadget Pertama Dudu]

  
Diskusinya juga dihadiri Miss Yeni dari RISE Alam Sutera

Diskusi seru di RISE memberikan beberapa solusi buat para Mama.

Pertama, coba lihat ke diri sendiri.
Apakah kita sering baca berita pakai HP di meja makan, sering main game online sambil tiduran sebelum tidur, dan browsing social media ketika senggang? Anak-anak adalah peniru ulung. Bisa jadi mereka mulai pegang gadget karena kita sebagai orang tua juga tidak bisa berpisah dari gadget kita sendiri.

Kedua, bangun percakapan dan buat peraturan bersama.
Salah satu hal pertama yang saya bahas ketika Dudu punya HP adalah tentang sharing jokes dan content yang berantai. Itu lho, yang sering ada di WA grup, lalu dicopas di WA grup lain.

Mama:
Yang seperti ini jangan dishare dong. Kan orang sebal bacanya.
Dudu: Tapi buat saya leluconnya lucu, Ma.

Dan ketika saya survey ke teman-teman saya yang dapat forward-an “lelucon” dari si Dudu, satu dari tiga ternyata punya sense of humor yang sama dengan si Dudu dan menganggap itu lucu. Jadi tidak boleh asal memarahi dan melarang.

Sebaiknya sih tidak hanya melarang menggunakan gadget, karena dengan diskusi, anak jadi merasa dihargai dan merasa ambil bagian dari membuat kesepakatan. Dengan begitu biasanya mereka lebih segan melanggar. Lalu dengan sering ngobrol, kita jadi tahu apa saja yang disaksikan anak di Youtube atau game apa saja yang dimainkannya.

Ketiga, stay updated. Aplikasi sekarang canggih dan beragam jadi sebagai orang tua jangan sampai kita kalah update. Kalau anak sudah menggunakan aplikasi seperti musicaly atau snapchat, kita juga harus tahu fungsi, bagaimana membatasi kontennya dan peraturan apa yang cocok diterapkan untuk aplikasi tersebut. 


[Baca juga: Smart Parenting in Digital Era]

Sebisa mungkin kita jangan browsing konten dewasa atau yang tidak pantas di HP atau tablet yang juga digunakan anak karena sistem digital marketing sekarang canggih, bisa retargetting sesuai google search dan browsing history kita. Dan amannya, kita sharing login dan password dengan anak. 

Para Mama peserta diskusi. (Photo by Single Moms Indonesia)
Serunya diskusi kemarin itu adalah sementara kita berdiskusi, anak-anak nonton film di salah satu ruang kelas RISE jadi saya bisa fokus tanpa pusing memikirkan si Dudu sedang apa. Ini baru "Me Time" tanpa gadget.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.